Hari-hari kulewati dengan berharap, kau akan kembali. Karena
kehadiranmu sudah menjadi rumah bagiku. Dan seperti rumah, tak ada tempat yang
lebih baik untuk beristirahat. Namun waktu berlalu, hari berganti, daun pun berguguran
tapi masih tak ada kabar darimu. Dan aku hanya bisa menunggu.
Kuhabiskan waktu duduk di depan pintu. Tempat kita biasa
menonton burung-burung gereja hinggap di dahan pepohonan sambil bernyanyi untuk
kita. Lalu kita akan berusaha mengikuti nyanyian burung-burung itu, kemudian
tertawa ketika kita hanya dapat mengeluarkan nada-nada sumbang yang tampaknya
dapat menggugurkan daun di pepohonan. Dan ketika mereka akhirnya terbang bebas
menuju angkasa tanpa batas, kita akan berandai kita adalah mereka dan kita akan
bertualang dengan riang, menertawakan manusia-manusia bodoh yang menonton kita.
Kutatap pagar besi yang membatasi halaman kita dan dunia luar yang
penuh kejahatan dan berharap kau akan menggesernya. Lalu dengan langkah yang
pelan tapi pasti, pulang ke pelukanku. Tapi pagar besi berkarat itu tak pernah
bergerak, dan kadang aku bisa melihat pagar itu menertawaiku serta mengejek kebodohanku yang mengharapkanmu masuk dan melewati pagar itu.
Kutemukan diriku tertidur, dan dingin angin malam
membangunkanku. Aku tak berdaya dibuatnya. Namun, pelan-pelan kurasakan
kehangatan menghinggapiku. Kupandang jauh dan kulihat bulan bersinar. Aku bisa
merasakan cahaya lembutnya menghangatkanku. Rasanya mirip seperti saat kau memelukku.
Tapi tak lama kemudian aku justru merasa lebih dingin dari sebelumnya. Dingin
yang meremukkan tulang-tulangku. Namun, dingin ini berbeda dengan sebelumnya. Dingin
ini terasa begitu akrab. Aku panik dan meronta, namun aku tak berdaya. Atau
mungkin aku yang sudah pasrah. Kurasakan air mata jatuh membasahi pipiku. Aku
tersedu. Kulupakan dingin yang tadi menjeratku. Kubiarkan diriku meraung.
Kutemukan ingatan tentang dingin itu dalam sendu. Ini dingin yang menjeratku
ketika ku bangun dan menemukanmu tak lagi di sini. Ini dingin yang
menyadarkanku aku harus berjalan tanpamu kali ini. Aku tak tahu mengapa kau
harus pergi. Tanpa pesan, tanpa jejak, tanpa alasan. Aku terus mencoba, tapi
aku gagal memahami maksud dan pelajaran yang ingin kau beri.
Dan dalam keputusasaan, aku berlari. Tanpa arah, tanpa
tujuan. Hingga akhirnya kutemukan diriku di pinggir sebuah jurang. Yang tak
tampak ujungnya, dan tampak berbahaya. Aku berhenti dan menatap lekat, jauh ke
dasar jurang itu. Berharap ada kau di dasarnya. Ketika aku akhirnya muak akan
kesedihanku, aku menutup mata dan tertawa. Lalu dengan pasti aku melompat ke
dalam jurang itu. Tanpa takut akan hidup dan mati. Rasanya sama saja, karena
kau tak di sini. Aku sedang menjadi burung itu, sayang! Bebas dan lepas. Kau
pasti bangga padaku. Setidaknya aku mati sebagai burung yang bebas.
Ketika kubuka mataku, aku sudah kembali berada di depan pintu.
Meringkuk. Wajahku terasa kaku, masih terasa bekas air mata di pipiku. Matahari
sudah bersinar terang. Burung-burung sudah keluar dari sarangnya dan bernyanyi
dengan riang. Kuresapi semua cahaya dan nyanyian, setidaknya agar aku yakin aku memang hidup. Kubiarkan diriku terbiasa, lalu aku bangkit. Kubersihkan diriku.
Kukenakkan pakaianku. Tak lupa kupetikkan bunga kesukaanmu. Pagar yang biasanya
menertawakanku pun tersenyum melihatku. Ia lalu bergeser dan membiarkanku lewat.
Di depan pagar, aku menoleh ke teras depan pintu tempat kita
biasa duduk itu. Kulihat kita. Bahagia.
Aku tersenyum, lalu aku berbalik dan mulai berjalan.
Tunggu aku.
Aku sudah janji bukan?
Hari ini, kubersihkan nisanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar