Selasa, 03 Februari 2015

Tunggu Aku

Hari-hari kulewati dengan berharap, kau akan kembali. Karena kehadiranmu sudah menjadi rumah bagiku. Dan seperti rumah, tak ada tempat yang lebih baik untuk beristirahat. Namun waktu berlalu, hari berganti, daun pun berguguran tapi masih tak ada kabar darimu. Dan aku hanya bisa menunggu.

Kuhabiskan waktu duduk di depan pintu. Tempat kita biasa menonton burung-burung gereja hinggap di dahan pepohonan sambil bernyanyi untuk kita. Lalu kita akan berusaha mengikuti nyanyian burung-burung itu, kemudian tertawa ketika kita hanya dapat mengeluarkan nada-nada sumbang yang tampaknya dapat menggugurkan daun di pepohonan. Dan ketika mereka akhirnya terbang bebas menuju angkasa tanpa batas, kita akan berandai kita adalah mereka dan kita akan bertualang dengan riang, menertawakan manusia-manusia bodoh yang menonton kita.

Kutatap pagar besi yang membatasi halaman kita dan dunia luar yang penuh kejahatan dan berharap kau akan menggesernya. Lalu dengan langkah yang pelan tapi pasti, pulang ke pelukanku. Tapi pagar besi berkarat itu tak pernah bergerak, dan kadang aku bisa melihat pagar itu menertawaiku serta mengejek kebodohanku yang mengharapkanmu masuk dan melewati pagar itu.

Kutemukan diriku tertidur, dan dingin angin malam membangunkanku. Aku tak berdaya dibuatnya. Namun, pelan-pelan kurasakan kehangatan menghinggapiku. Kupandang jauh dan kulihat bulan bersinar. Aku bisa merasakan cahaya lembutnya menghangatkanku. Rasanya mirip seperti saat kau memelukku. Tapi tak lama kemudian aku justru merasa lebih dingin dari sebelumnya. Dingin yang meremukkan tulang-tulangku. Namun, dingin ini berbeda dengan sebelumnya. Dingin ini terasa begitu akrab. Aku panik dan meronta, namun aku tak berdaya. Atau mungkin aku yang sudah pasrah. Kurasakan air mata jatuh membasahi pipiku. Aku tersedu. Kulupakan dingin yang tadi menjeratku. Kubiarkan diriku meraung. Kutemukan ingatan tentang dingin itu dalam sendu. Ini dingin yang menjeratku ketika ku bangun dan menemukanmu tak lagi di sini. Ini dingin yang menyadarkanku aku harus berjalan tanpamu kali ini. Aku tak tahu mengapa kau harus pergi. Tanpa pesan, tanpa jejak, tanpa alasan. Aku terus mencoba, tapi aku gagal memahami maksud dan pelajaran yang ingin kau beri.

Dan dalam keputusasaan, aku berlari. Tanpa arah, tanpa tujuan. Hingga akhirnya kutemukan diriku di pinggir sebuah jurang. Yang tak tampak ujungnya, dan tampak berbahaya. Aku berhenti dan menatap lekat, jauh ke dasar jurang itu. Berharap ada kau di dasarnya. Ketika aku akhirnya muak akan kesedihanku, aku menutup mata dan tertawa. Lalu dengan pasti aku melompat ke dalam jurang itu. Tanpa takut akan hidup dan mati. Rasanya sama saja, karena kau tak di sini. Aku sedang menjadi burung itu, sayang! Bebas dan lepas. Kau pasti bangga padaku. Setidaknya aku mati sebagai burung yang bebas. 

Ketika kubuka mataku, aku sudah kembali berada di depan pintu. Meringkuk. Wajahku terasa kaku, masih terasa bekas air mata di pipiku. Matahari sudah bersinar terang. Burung-burung sudah keluar dari sarangnya dan bernyanyi dengan riang. Kuresapi semua cahaya dan nyanyian, setidaknya agar aku yakin aku memang hidup. Kubiarkan diriku terbiasa, lalu aku bangkit. Kubersihkan diriku. Kukenakkan pakaianku. Tak lupa kupetikkan bunga kesukaanmu. Pagar yang biasanya menertawakanku pun tersenyum melihatku. Ia lalu bergeser dan membiarkanku lewat.

Di depan pagar, aku menoleh ke teras depan pintu tempat kita biasa duduk itu. Kulihat kita. Bahagia.
Aku tersenyum, lalu aku berbalik dan mulai berjalan.

Tunggu aku.


Aku sudah janji bukan? 

Hari ini, kubersihkan nisanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar