Sabtu, 07 Februari 2015

Ayahmu

Hari ini kuluangkan waktu untuk datang ke syukuran keluargamu. Ayahmu yang mengundangku. Syukuran wisuda katanya, lewat pesan singkat kemarin sore. Dengan segera kubalas, "siap bos."

Ayahmu memang selalu ramah padaku. Ia tak pernah absen menyambutku dengan secangkir teh panas dan cemilan sore hari jika ia tahu aku mau singgah dulu. Aku pun dengan senang hati mendengarkannya berbicara panjang lebar tentang apa saja. Mulai dari kebijakan pemerintah, sampai sekedar pisau lipat keluaran terbaru dari Swiss. Kunikmati khotbahnya tentang korupsi, kolusi, atau nepotisme yang merajalela di bumi Indonesia ini. Mungkin karena dulu ayahku hanya bisa memukulku dengan rotan, mengkhotbahiku dengan tendangan atau tamparan. Saat kujabat tangannya tadi, masih terasa keakraban yang dulu ia selalu pancarkan.

Sayangnya tak demikian dengan ibumu. Kurasa tatapan sinis darinya saat aku menjabat tangan ayahmu. Tatapan sinis yang sama seperti saat pertama kali kau mengenalkanku padanya. Sekilas kuingat bagaimana dulu aku bahkan tak berani menatap matanya. Entah takut atau malu. Aku tahu, ibumu memang tak pernah suka padaku. Terlihat dari caranya menyindir caraku berpakaian, atau model rambutku. Sepertinya sudah jadi rahasia umum kalau ibumu suka membicarakan ayahku yang pemabuk itu. Aku selalu hanya dapat tersenyum kecil menanggapinya. Untungnya ayahmu selalu dengan pandai memotong pembicaraan dan menyisipkan lelucon om-omnya (yang kadang garing) untuk meredakan suasana. Ibumu akan berjalan menjauh. Aku dan ayahmu akan bertukar senyum penuh kemenangan.
Aku sangat mencintai keluarga kecilmu itu.

Namun, pertengkaran kita rasanya makin menjadi. Karenanya akupun semakin jarang mampir di rumahmu.
Hingga akhirnya kita memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang kita dulu agungkan. Kubayangkan ibumu tertawa. Senyum penuh kemenangan kini pindah ke mukanya. Ayahmu hanya diam. Mungkin ia sedang membiarkan putrinya belajar. Aku tahu kita sama-sama terluka. Tapi aku bukan hanya kehilanganmu. Aku juga kehilangan ayah(mu).

Aku bahagia dapat melihatmu tersenyum. Tapi ayahmu yang membuatku dapat duduk dengan nyaman di sampingmu dan pacar barumu itu.

Jumat, 06 Februari 2015

Surat Cinta

Aku ingin bercerita.

Tanggal 20 yang lalu, pak Pos mengantar surat. Kiriman lihat sepertinya. Amplop putih dihiasi tulisan indah. Tak ada nama pengirim. Hanya ada namaku di atasnya. Isinya tak tertebak. Tapi entah mengapa aku merasa ada yang salah. Kutunda membacanya. Kusimpan surat itu di rak buku di kamar. Kulanjutkan hariku dan lupa ada surat itu di kamar.

Bulan berlalu. Surat itu tertangkap sudut mataku. Aku pun membukanya. Kubaca dengan was-was. Isinya, "April sudah meninggal. Ia dimakamkan tanggal 25. Ia pasti mengharapkan kedatanganmu."
Nama ibumu tertulis di bawah. Tampak bekas air yang sudah kering di dekatnya.
Entah mengapa, rasanya air mataku tumpah di tempat yang sama.

Maaf kulewatkan pemakamanmu.

Kamis, 05 Februari 2015

Bunga yang Tak Pernah Layu

Untuk bunga yang tak pernah layu,
semoga kau nyaman di rumahmu yang baru.
Yang meski jauh,
 akan membuatmu menjadi bunga yang lebih baik.

Untuk bunga yang tak pernah layu,
janganlah kau bersedih.
Selalu ada mentari yang dengan senang hati terus bersinar untukmu.

Untuk bunga yang tak pernah layu,
jangan kau khawatir.
Hujan akan memastikan kau tak pernah kehausan.

Untuk bunga yang tak pernah layu,
jangan kau bersembunyi.
Banyak kupu-kupu yang ingin bermain denganmu.

Untuk bunga yang tak pernah layu,
jangan kau malu-malu apabila banyak orang yang ingin memandangmu
Memang kau terlalu cantik untuk itu.

Untuk bunga yang tak pernah layu,
mekarlah,
dan tunjukkan putihmu yang selalu kucinta pada dunia.

Untuk bunga yang tak pernah layu,
sampai waktunya kita kembali bertemu,
jaga dirimu.


Untukmu bunga yang tak pernah layu,
surat cintaku.

Rabu, 04 Februari 2015

Untuk Pertama dan Terakhir

Hai Cher! Apa kabar? Semoga kesehatan dan kebahagiaan selalu menyertaimu. Senang bisa menulis sebuah surat untukmu. Walaupun tampak aneh, tapi rasanya menyenangkan menulis surat cinta untukmu.

Aku berusaha mengingat pertemuan pertama kita. Kalau tak salah, kau sedang menghabiskan liburan sekolah, dan papamu diundang untuk mengisi acara gereja. Karenanya ia membawamu serta.

Aku tak lupa bagaimana perjalanan panjang ke luar kota itu bisa terasa singkat. Mendengar percakapan yang menghibur antara kau dan adikmu serta mamamu membuatku tertawa kecil sepanjang jalan.
Aku kagum pada cara kau membuat semuanya tampak lebih lucu.
Tak pernah kusangka akan kujadikan kebiasaan menertawakan kenangan tentangmu.
Dan aku tak pernah bosan mengingat bagaimana kau bernyanyi dengan merdu. Dan indahnya sama dengan senyum di wajahmu.
Aku tak bisa lupa bagaimana kita dulu akan bercakap tentang banyak hal, menertawakan banyak hal sampai larut. Dan aku akan bangun lalu mencarimu paginya. Berharap ada kau di sana dengan was-was.

Kadang aku berharap kita bisa menghabiskan waktu lebih lama dari sekedar perjalanan singkat dulu. Karena hadirmu menjadi candu.

Terima kasih untuk banyak hal.
Terima kasih sudah menghias hariku dengan suka cita.
Aku bahagia pernah berjumpa denganmu.
Semoga kebaikan dan kebahagiaan hidup selalu menyertaimu di setiap langkah.

Salam,

Jo

Selasa, 03 Februari 2015

Tunggu Aku

Hari-hari kulewati dengan berharap, kau akan kembali. Karena kehadiranmu sudah menjadi rumah bagiku. Dan seperti rumah, tak ada tempat yang lebih baik untuk beristirahat. Namun waktu berlalu, hari berganti, daun pun berguguran tapi masih tak ada kabar darimu. Dan aku hanya bisa menunggu.

Kuhabiskan waktu duduk di depan pintu. Tempat kita biasa menonton burung-burung gereja hinggap di dahan pepohonan sambil bernyanyi untuk kita. Lalu kita akan berusaha mengikuti nyanyian burung-burung itu, kemudian tertawa ketika kita hanya dapat mengeluarkan nada-nada sumbang yang tampaknya dapat menggugurkan daun di pepohonan. Dan ketika mereka akhirnya terbang bebas menuju angkasa tanpa batas, kita akan berandai kita adalah mereka dan kita akan bertualang dengan riang, menertawakan manusia-manusia bodoh yang menonton kita.

Kutatap pagar besi yang membatasi halaman kita dan dunia luar yang penuh kejahatan dan berharap kau akan menggesernya. Lalu dengan langkah yang pelan tapi pasti, pulang ke pelukanku. Tapi pagar besi berkarat itu tak pernah bergerak, dan kadang aku bisa melihat pagar itu menertawaiku serta mengejek kebodohanku yang mengharapkanmu masuk dan melewati pagar itu.

Kutemukan diriku tertidur, dan dingin angin malam membangunkanku. Aku tak berdaya dibuatnya. Namun, pelan-pelan kurasakan kehangatan menghinggapiku. Kupandang jauh dan kulihat bulan bersinar. Aku bisa merasakan cahaya lembutnya menghangatkanku. Rasanya mirip seperti saat kau memelukku. Tapi tak lama kemudian aku justru merasa lebih dingin dari sebelumnya. Dingin yang meremukkan tulang-tulangku. Namun, dingin ini berbeda dengan sebelumnya. Dingin ini terasa begitu akrab. Aku panik dan meronta, namun aku tak berdaya. Atau mungkin aku yang sudah pasrah. Kurasakan air mata jatuh membasahi pipiku. Aku tersedu. Kulupakan dingin yang tadi menjeratku. Kubiarkan diriku meraung. Kutemukan ingatan tentang dingin itu dalam sendu. Ini dingin yang menjeratku ketika ku bangun dan menemukanmu tak lagi di sini. Ini dingin yang menyadarkanku aku harus berjalan tanpamu kali ini. Aku tak tahu mengapa kau harus pergi. Tanpa pesan, tanpa jejak, tanpa alasan. Aku terus mencoba, tapi aku gagal memahami maksud dan pelajaran yang ingin kau beri.

Dan dalam keputusasaan, aku berlari. Tanpa arah, tanpa tujuan. Hingga akhirnya kutemukan diriku di pinggir sebuah jurang. Yang tak tampak ujungnya, dan tampak berbahaya. Aku berhenti dan menatap lekat, jauh ke dasar jurang itu. Berharap ada kau di dasarnya. Ketika aku akhirnya muak akan kesedihanku, aku menutup mata dan tertawa. Lalu dengan pasti aku melompat ke dalam jurang itu. Tanpa takut akan hidup dan mati. Rasanya sama saja, karena kau tak di sini. Aku sedang menjadi burung itu, sayang! Bebas dan lepas. Kau pasti bangga padaku. Setidaknya aku mati sebagai burung yang bebas. 

Ketika kubuka mataku, aku sudah kembali berada di depan pintu. Meringkuk. Wajahku terasa kaku, masih terasa bekas air mata di pipiku. Matahari sudah bersinar terang. Burung-burung sudah keluar dari sarangnya dan bernyanyi dengan riang. Kuresapi semua cahaya dan nyanyian, setidaknya agar aku yakin aku memang hidup. Kubiarkan diriku terbiasa, lalu aku bangkit. Kubersihkan diriku. Kukenakkan pakaianku. Tak lupa kupetikkan bunga kesukaanmu. Pagar yang biasanya menertawakanku pun tersenyum melihatku. Ia lalu bergeser dan membiarkanku lewat.

Di depan pagar, aku menoleh ke teras depan pintu tempat kita biasa duduk itu. Kulihat kita. Bahagia.
Aku tersenyum, lalu aku berbalik dan mulai berjalan.

Tunggu aku.


Aku sudah janji bukan? 

Hari ini, kubersihkan nisanmu.

Senin, 02 Februari 2015

Dear Kutu



Dear Kutu, 

Apa kabar? Semoga semesta senantiasa menyertai perjalananmu. Sudah berapa lama sejak terakhir kita berjumpa? 4? 5 tahun? Apakah kau masih terlihat lucu ketika menyebutkan huruf tertentu? Ah, biar itu menjadi misteri.

Kutu, tanpa malu-malu aku merindukanmu. Tapi tentu saja, kau tahu itu. Bukan bahwa aku merindukanmu, tapi aku tidak pernah ragu menunjukkan hal itu tanpa malu-malu. Dulu, hal itu merupakan sesuatu yang bisa kubanggakan. Bukan. Bukan bahwa aku merindukanmu. Tapi bahwa aku bisa menunjukkannya tanpa malu-malu. Namun, sejak terakhir kita bertemu aku belajar banyak hal tentang diriku sendiri. Dengan hati-hati aku melepas semua kebanggaan itu, semua kesombongan fana yang sebenarnya bukan milikku. Aku belajar terbuka, dan membiarkan diriku terlihat lemah walau aku tahu aku benci terlihat seperti itu. Ya, kadang aku masih melakukan kesalahan. Kadang aku membiarkan kelemahan menguasaiku, dan karenanya aku tersesat dalam penyesalan yang memuakkan. Tapi, aku lalu belajar bahwa ketika akhirnya aku meletakkan rasa percaya pada orang lain, aku bisa menemukan jalan keluar dari masalah yang memerangkapku.

Kutu, aku selalu senang mendengar kabarmu. Baik dari orang lain, atau dari isengku sendiri. Walaupun sejak beberapa tahun lalu aku memutuskan untuk berhenti mencari tahu. Karena aku takut akan apa yang mungkin aku dapat.

Kutu, tahukah kau? Katanya, ketika seseorang bersin, jantungnya berhenti berdetak. Walau hanya sedetik, tapi kita sempat ‘mati’ ketika kita bersin. Psst, aku masih selalu bersin ketika kudengar namamu disebut.

Sejak dulu aku tahu bahwa dalam perjalanan panjang dan berat yang kita sebut hidup ini, kita akan berjalan di jalan yang berbeda. Namun, jalan yang sempat kutempuh bersamamu memang terasa lebih ringan. Dan aku kadang masih tersenyum kecil ketika kenangan itu singgah di kepalaku. Dulu aku cukup naif untuk berharap cerita yang kita tulis dapat berakhir bahagia karena kita akan terus bersama. Namun, aku lalu sadar bahwa bahagia kita seharusnya tak perlu disandarkan pada orang yang kapan saja bisa pergi meninggalkan kita sendiri, dan membawa bahagia kita pergi. Aku juga sadar bahwa kita tak perlu satu sama lain untuk tetap berdiri menghadapi hidup. Walaupun butuh waktu yang cukup lama, tapi akhirnya aku tahu itu.
Kutu, sejauh yang kuingat, pertemuan terakhir kita tidak berakhir dengan baik. Seperti biasa, aku lagi-lagi mengecewakanmu. Dan waktu telah lama berlalu sebelum akhirnya aku sadar dan menyesal. Namun ketika aku bangun dan berusaha mencarimu, kau telah jauh di jalanmu sendiri. Sempat aku coba berbalik dan mengejar, namun aku tersesat dan akhirnya terjebak di lingkaran yang sama. Kutangisi diriku sendiri, muak, dan penuh kebencian. Namun, aku menemukan keberanian untuk bangkit dari kesedihan itu lalu kembali meneruskan perjalanan. Sering dalam perjalananku aku menemukan persimpangan yang kulihat kau di ujungnya. Tapi aku ragu betul ada kau di sana. Semesta menyertaiku, Tu. Dalam perjalananku, kutemukan orang-orang yang menemaniku dengan setia. Orang-orang sepertimu dulu. Yang mampu dengan mudah membuatku tersenyum, merasa lengkap dan bahagia tanpa perlu melakukan apa-apa. Aku tahu, dalam perjalananmu kau pun menemukan orang-orang seperti itu. Dan senang rasanya mengetahui orang-orang itu membuatmu bahagia, menjaga dan melengkapi hari-harimu. Semoga mereka tetap setia berjalan bersamamu, ya Tu?

Oh ya, aku lupa mengapa aku dulu mulai memanggilmu Kutu. Mungkin karena kau di mataku kau begitu kecil namun bisa menjadi begitu menjengkelkan disaat yang bersamaan. Mungkin juga bukan, tapi aku senang menganggapnya demikian. Biasanya kutu bukanlah hal yang baik untuk dipelihara, tapi aku selalu senang menjagamu dekat walau hanya dalam angan.

Kutu, seandainya doa diabsen dalam sebuah buku besar, maka bukuku akan penuh dengan coretan merah tanda kealpaan. Tapi seandainya aku berdoa, masih saja kusisipkan kau dengan hati-hati. Aku tahu Tuhan mendengarnya, dan Ia memastikan kau baik-baik saja.

Tu, terima kasih sudah menjadi seorang guru, dan sebuah anugrah. Bukan anugrah yang gratisan, tapi anugrah yang begitu indah sehingga kadang orang merasa tak layak mendapatkannya. Aku salah satunya.

Dan akhirnya, Kutu. Terimalah wujud kerendahan hati yang dulu tak kumiliki ini. Semoga kau menerima harapan bahagia, rindu, dan kasih sayang yang kutitipkan lewat surat ini.  Karena surat ini berbicara lebih banyak dari yang bisa kuucapkan, baik di waktu kita bercakap dalam kenangan, atau dalam diam impian.


Salam,


J