Kamis, 19 Juli 2012

Perpisahan Yang Layak

Entah bagaimana, 
kejadian beberapa minggu belakangan ini mengingatkanku pada kenangan yang terkubur di halaman belakang rumahku di tepi pantai.
Sudah lama aku ataupun keluargaku tak mengunjungi rumah itu.
Rumah berwarna putih yang mulai pudar dimakan waktu.
Dengan 6 jendela besar menganga, 
menghadap laut.
Seakan ia haus, 
dan menunggu air laut menghilangkan dahaganya. 
Beranda yang juga menghadap laut, 
tempatku biasa menghapalkan nama-nama rasi-rasi bintang.
Juga 13 anak tangga, 
tempat aku belajar berjalan, 
sebelum akhirnya berbaring di hamparan pasir putih, 
sambil sesekali bermain air ditemani ombak kecil-kecil. 
Entah dimana ikan-ikan kecil yang setia menggelitik jemari kakiku kala itu. 
Aku rindu rumah itu.

Aku meninggalkan rumah itu,
Saat aku sudah cukup besar untuk mengenakan seragam merah-putihku.
Aku ingat malam terakhir di rumah itu,
aku tak berhenti tersedu.
Aku tak ingin pergi,
tapi keputusan untuk merebut pendidikan di tempat yang jauh memaksaku pergi.
Aku tak pernah lupa rumah itu.
Rumah yang muncul dalam mimpi-mimpi indahku.

Aku ingat, kita bertemu beberapa tahun yang lalu,
kau membantuku menyusun buku-buku di perpustakaan tempat kita duduk membisu.
Aku tahu aku mencintaimu saat itu,
begitu pula saat ini,
ataupun esok hari.
Aku ingat bagaimana kau membantuku melewati hari-hari melelahkan,
yang penuh kebencian dan kau lawan dengan cinta dan harapan.
Aku ingat bagaimana kita mencintai dengan penuh tawa,
juga cinta yang bagaikan cahaya.
Aku ingat bagaimana aku mengungkapkan perasaanku padamu,
dari antara sela-sela buku yang setengah berdebu,
dan kau tersipu malu dari sisi yang satu.
Apakah kau mengingat semua itu ?

Waktu,
menjadi pendamping setia cinta yang tak pernah bersatu.
Bunga-bunga indah yang perlahan layu,
seakan menjadi sebuah simbol akan cinta malu-malu.
Seperti cinta kita.
Aku yang begitu mencintaimu,
dan kau yang begitu mencintai dirimu.
Tak ada yang mencintaiku.
Sementara aku sibuk memaksa hatiku untuk jujur,
kau sibuk memaksa hatimu untuk berbohong.
Aku begitu mencintaimu untuk berhenti percaya,
kau begitu mencintai dirimu untuk mulai percaya.
Ketika malam tiba dan kau menutup mata,
Mataku terbuka, 
dan air mataku perlahan menyusuri pipi kurus yang kau cubit sepanjang waktu.
Ketika pagi tiba dan kau membuka mata,
Mataku tertutup, 
dan mimpiku mulai berkerja mempersatukan kita berdua.

Harapan,
aku terlalu muda untuk berhenti berjuang.
Mungkin karena itu aku tak pernah lelah menunggu,
pesan singkat darimu di layar telepon genggam kecilku.
Atau sekedar kicauan mu,
di linikala yang ku-filter dengan namamu.
Aku tak pernah berhenti percaya bahwa kau juga mencintaiku.
Bahwa aku juga ada di mimpi-mimpi anggunmu.
Bahkan setelah kau perlahan pergi,
tak meninggalkan apapun selain bayangan yang juga mulai tak betah berdiri.
Bayangan yang pergi ketika gelap malam memeluk tulang-tulang yang rapuh karena ketiadaanmu.
Aku tak pernah berhenti percaya bahwa kau akan kembali.
Bahwa di suatu tempat,
di dalam pekat gelap malam,
kau sedang berjalan pulang,
menujuku.
Kadang aku melihat cahaya di ujung mataku,
dan membayangkan itu dirimu,
dengan senyum lebar dan mata besar,
sedang tersenyum padaku,
memberi tahu bahwa kau akan segera sampai di pelukku.
Lalu aku akan membuka mata,
menatap kosong matahari yang sedang tertawa,
menertawaiku,
mungkin.
Kau tak pernah mengucapkan kalimat perpisahan,
mungkin itu sebabnya aku tak pernah berhenti menunggu.

Aku kembali ke rumah tua itu beberapa hari yang lalu,
membawamu serta,
dalam kenangan yang tak pernah gagal membuatku tertawa lepas,
tersenyum,
atau bahkan menitikkan air mata.
Rumah itu banyak berubah,
sama sepertimu,
sama seperti kita.
Perlahan aku mengukir kisah cinta kita,
dengan rumah itu sebagai saksinya.
Laut menyaksikan dengan penuh rasa ingin tahu,
cinta siapa lagi yang ia akan terima hari ini.
Di atas pasir putih,
tempat aku tumbuh dulu.
Sebagian kenangan kita kutebarkan.
Dengan harapan dan keyakinan yang sama seperti saat kita berjumpa pertama kali.
Harapan bahwa cinta ini tak akan mati,
tapi akan belajar untuk menghargai,
apa yang nyata dan apa yang tidak.
Karena kau telah mengajariku,
untuk tidak mencintai bayanganmu lagi.
Dan aku pun melangkah pergi,
perlahan tapi pasti.
Ombak kecil yang dulu menemaniku bermain,
menghapus air mata yang membentuk jejak di pesisir pantai,
air mataku,
jejak cinta,
kita yang harus kulepas pergi.

Kutitipkan kenangan kita pada rumah tua di tepi pantai itu.
Dan aku akan kembali,
tua dan mati di rumah tua di tepi pantai itu.
Dengan kenangan kita menjadi sahabat setiaku.
Aku akan duduk di beranda rumah itu,
menikmati cinta yang dihembuskan angin yang bertiup,
menikmati harapan yang ditenun cahaya senja yang menyala.

Inilah perpisahan yang layak milik kita.

Dan sebelum aku menutup mata,
sebelum senja itu pergi,
aku akan memeluk kenangan kita,
dan berbisik..

"Aku mencintaimu"

Makassar, 20 July 2012

I love you, G.