Dear Kutu,
Apa kabar? Semoga semesta senantiasa menyertai perjalananmu.
Sudah berapa lama sejak terakhir kita berjumpa? 4? 5 tahun? Apakah kau masih
terlihat lucu ketika menyebutkan huruf tertentu? Ah, biar itu menjadi misteri.
Kutu, tanpa malu-malu aku merindukanmu. Tapi tentu saja, kau
tahu itu. Bukan bahwa aku merindukanmu, tapi aku tidak pernah ragu menunjukkan
hal itu tanpa malu-malu. Dulu, hal itu merupakan sesuatu yang bisa kubanggakan.
Bukan. Bukan bahwa aku merindukanmu. Tapi bahwa aku bisa menunjukkannya tanpa
malu-malu. Namun, sejak terakhir kita bertemu aku belajar banyak hal tentang
diriku sendiri. Dengan hati-hati aku melepas semua kebanggaan itu, semua
kesombongan fana yang sebenarnya bukan milikku. Aku belajar terbuka, dan membiarkan
diriku terlihat lemah walau aku tahu aku benci terlihat seperti itu. Ya, kadang
aku masih melakukan kesalahan. Kadang aku membiarkan kelemahan menguasaiku, dan
karenanya aku tersesat dalam penyesalan yang memuakkan. Tapi, aku lalu belajar
bahwa ketika akhirnya aku meletakkan rasa percaya pada orang lain, aku bisa
menemukan jalan keluar dari masalah yang memerangkapku.
Kutu, aku selalu senang mendengar kabarmu. Baik dari orang
lain, atau dari isengku sendiri. Walaupun sejak beberapa tahun lalu aku memutuskan
untuk berhenti mencari tahu. Karena aku takut akan apa yang mungkin aku dapat.
Kutu, tahukah kau? Katanya, ketika seseorang bersin,
jantungnya berhenti berdetak. Walau hanya sedetik, tapi kita sempat ‘mati’
ketika kita bersin. Psst, aku masih selalu bersin ketika kudengar namamu
disebut.
Sejak dulu aku tahu bahwa dalam perjalanan panjang dan berat
yang kita sebut hidup ini, kita akan berjalan di jalan yang berbeda. Namun,
jalan yang sempat kutempuh bersamamu memang terasa lebih ringan. Dan aku kadang
masih tersenyum kecil ketika kenangan itu singgah di kepalaku. Dulu aku cukup
naif untuk berharap cerita yang kita tulis dapat berakhir bahagia karena kita
akan terus bersama. Namun, aku lalu sadar bahwa bahagia kita seharusnya tak
perlu disandarkan pada orang yang kapan saja bisa pergi meninggalkan kita sendiri,
dan membawa bahagia kita pergi. Aku juga sadar bahwa kita tak perlu satu sama
lain untuk tetap berdiri menghadapi hidup. Walaupun butuh waktu yang cukup
lama, tapi akhirnya aku tahu itu.
Kutu, sejauh yang kuingat, pertemuan terakhir kita tidak
berakhir dengan baik. Seperti biasa, aku lagi-lagi mengecewakanmu. Dan waktu
telah lama berlalu sebelum akhirnya aku sadar dan menyesal. Namun ketika aku
bangun dan berusaha mencarimu, kau telah jauh di jalanmu sendiri. Sempat aku
coba berbalik dan mengejar, namun aku tersesat dan akhirnya terjebak di
lingkaran yang sama. Kutangisi diriku sendiri, muak, dan penuh kebencian.
Namun, aku menemukan keberanian untuk bangkit dari kesedihan itu lalu kembali
meneruskan perjalanan. Sering dalam perjalananku aku menemukan persimpangan
yang kulihat kau di ujungnya. Tapi aku ragu betul ada kau di sana. Semesta
menyertaiku, Tu. Dalam perjalananku, kutemukan orang-orang yang menemaniku
dengan setia. Orang-orang sepertimu dulu. Yang mampu dengan mudah membuatku
tersenyum, merasa lengkap dan bahagia tanpa perlu melakukan apa-apa. Aku tahu,
dalam perjalananmu kau pun menemukan orang-orang seperti itu. Dan senang
rasanya mengetahui orang-orang itu membuatmu bahagia, menjaga dan melengkapi
hari-harimu. Semoga mereka tetap setia berjalan bersamamu, ya Tu?
Oh ya, aku lupa mengapa aku dulu mulai memanggilmu Kutu. Mungkin karena kau di mataku kau begitu kecil namun bisa menjadi begitu menjengkelkan disaat yang bersamaan. Mungkin juga bukan, tapi aku senang menganggapnya demikian. Biasanya kutu bukanlah hal yang baik untuk dipelihara, tapi aku selalu senang menjagamu dekat walau hanya dalam angan.
Kutu, seandainya doa diabsen dalam sebuah buku besar, maka bukuku
akan penuh dengan coretan merah tanda kealpaan. Tapi seandainya aku berdoa,
masih saja kusisipkan kau dengan hati-hati. Aku tahu Tuhan mendengarnya, dan Ia
memastikan kau baik-baik saja.
Tu, terima kasih sudah menjadi seorang guru, dan sebuah
anugrah. Bukan anugrah yang gratisan, tapi anugrah yang begitu indah sehingga
kadang orang merasa tak layak mendapatkannya. Aku salah satunya.
Dan akhirnya, Kutu. Terimalah wujud kerendahan hati yang
dulu tak kumiliki ini. Semoga kau menerima harapan bahagia, rindu, dan kasih
sayang yang kutitipkan lewat surat ini. Karena surat ini berbicara lebih banyak dari
yang bisa kuucapkan, baik di waktu kita bercakap dalam kenangan, atau dalam
diam impian.
Salam,
J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar