Senin, 02 Februari 2015

Dear Kutu



Dear Kutu, 

Apa kabar? Semoga semesta senantiasa menyertai perjalananmu. Sudah berapa lama sejak terakhir kita berjumpa? 4? 5 tahun? Apakah kau masih terlihat lucu ketika menyebutkan huruf tertentu? Ah, biar itu menjadi misteri.

Kutu, tanpa malu-malu aku merindukanmu. Tapi tentu saja, kau tahu itu. Bukan bahwa aku merindukanmu, tapi aku tidak pernah ragu menunjukkan hal itu tanpa malu-malu. Dulu, hal itu merupakan sesuatu yang bisa kubanggakan. Bukan. Bukan bahwa aku merindukanmu. Tapi bahwa aku bisa menunjukkannya tanpa malu-malu. Namun, sejak terakhir kita bertemu aku belajar banyak hal tentang diriku sendiri. Dengan hati-hati aku melepas semua kebanggaan itu, semua kesombongan fana yang sebenarnya bukan milikku. Aku belajar terbuka, dan membiarkan diriku terlihat lemah walau aku tahu aku benci terlihat seperti itu. Ya, kadang aku masih melakukan kesalahan. Kadang aku membiarkan kelemahan menguasaiku, dan karenanya aku tersesat dalam penyesalan yang memuakkan. Tapi, aku lalu belajar bahwa ketika akhirnya aku meletakkan rasa percaya pada orang lain, aku bisa menemukan jalan keluar dari masalah yang memerangkapku.

Kutu, aku selalu senang mendengar kabarmu. Baik dari orang lain, atau dari isengku sendiri. Walaupun sejak beberapa tahun lalu aku memutuskan untuk berhenti mencari tahu. Karena aku takut akan apa yang mungkin aku dapat.

Kutu, tahukah kau? Katanya, ketika seseorang bersin, jantungnya berhenti berdetak. Walau hanya sedetik, tapi kita sempat ‘mati’ ketika kita bersin. Psst, aku masih selalu bersin ketika kudengar namamu disebut.

Sejak dulu aku tahu bahwa dalam perjalanan panjang dan berat yang kita sebut hidup ini, kita akan berjalan di jalan yang berbeda. Namun, jalan yang sempat kutempuh bersamamu memang terasa lebih ringan. Dan aku kadang masih tersenyum kecil ketika kenangan itu singgah di kepalaku. Dulu aku cukup naif untuk berharap cerita yang kita tulis dapat berakhir bahagia karena kita akan terus bersama. Namun, aku lalu sadar bahwa bahagia kita seharusnya tak perlu disandarkan pada orang yang kapan saja bisa pergi meninggalkan kita sendiri, dan membawa bahagia kita pergi. Aku juga sadar bahwa kita tak perlu satu sama lain untuk tetap berdiri menghadapi hidup. Walaupun butuh waktu yang cukup lama, tapi akhirnya aku tahu itu.
Kutu, sejauh yang kuingat, pertemuan terakhir kita tidak berakhir dengan baik. Seperti biasa, aku lagi-lagi mengecewakanmu. Dan waktu telah lama berlalu sebelum akhirnya aku sadar dan menyesal. Namun ketika aku bangun dan berusaha mencarimu, kau telah jauh di jalanmu sendiri. Sempat aku coba berbalik dan mengejar, namun aku tersesat dan akhirnya terjebak di lingkaran yang sama. Kutangisi diriku sendiri, muak, dan penuh kebencian. Namun, aku menemukan keberanian untuk bangkit dari kesedihan itu lalu kembali meneruskan perjalanan. Sering dalam perjalananku aku menemukan persimpangan yang kulihat kau di ujungnya. Tapi aku ragu betul ada kau di sana. Semesta menyertaiku, Tu. Dalam perjalananku, kutemukan orang-orang yang menemaniku dengan setia. Orang-orang sepertimu dulu. Yang mampu dengan mudah membuatku tersenyum, merasa lengkap dan bahagia tanpa perlu melakukan apa-apa. Aku tahu, dalam perjalananmu kau pun menemukan orang-orang seperti itu. Dan senang rasanya mengetahui orang-orang itu membuatmu bahagia, menjaga dan melengkapi hari-harimu. Semoga mereka tetap setia berjalan bersamamu, ya Tu?

Oh ya, aku lupa mengapa aku dulu mulai memanggilmu Kutu. Mungkin karena kau di mataku kau begitu kecil namun bisa menjadi begitu menjengkelkan disaat yang bersamaan. Mungkin juga bukan, tapi aku senang menganggapnya demikian. Biasanya kutu bukanlah hal yang baik untuk dipelihara, tapi aku selalu senang menjagamu dekat walau hanya dalam angan.

Kutu, seandainya doa diabsen dalam sebuah buku besar, maka bukuku akan penuh dengan coretan merah tanda kealpaan. Tapi seandainya aku berdoa, masih saja kusisipkan kau dengan hati-hati. Aku tahu Tuhan mendengarnya, dan Ia memastikan kau baik-baik saja.

Tu, terima kasih sudah menjadi seorang guru, dan sebuah anugrah. Bukan anugrah yang gratisan, tapi anugrah yang begitu indah sehingga kadang orang merasa tak layak mendapatkannya. Aku salah satunya.

Dan akhirnya, Kutu. Terimalah wujud kerendahan hati yang dulu tak kumiliki ini. Semoga kau menerima harapan bahagia, rindu, dan kasih sayang yang kutitipkan lewat surat ini.  Karena surat ini berbicara lebih banyak dari yang bisa kuucapkan, baik di waktu kita bercakap dalam kenangan, atau dalam diam impian.


Salam,


J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar